ANCAMAN HABITAT SERTA PELESTARIAN SATWA LIAR
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan. Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka. Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat (deforestasi, perubahan peruntukan lahan).
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangután, penyu, beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya. Pada tahun 2002 sekitar 1.000 ekor orangutan diburu dari hutan Kalimantan untuk diperdagangkan dan juga diselundupkan ke luar negeri. Menurut Yayasan Gibbon, jumlah orangutan di Indonesia saat ini sekitar 14.000 ekor. Di beberapa daerah, telah terjadi kepunahan lokal beberapa spesies, seperti lutung Jawa di beberapa daerah di Banyuwangi.
Untuk perdagangan penyu, dunia internasional telah memberikan perhatiannya sejak lima belas tahun terakhir. Tahun 1990-an, beberapa lembaga internasional seperti Greenpeace telah mempublikasikan terjadinya perdagangan dan pembantaian ribuan penyu per tahun di Bali. Isu boikot pariwisata terhadap Bali pun mencuat sebagai respon dari kepedulian masyarakat internasional terhadap nasib malang penyu-penyu yang bebas diperdagangkan di Bali. Kemudian isu boikot pariwisata Bali semakin mereda seiring dengan berjalannya waktu dan munculnya isu yang mengatakan bahwa perdagangan penyu di Bali telah menurun. Namun investigasi ProFauna Indonesia di tahun 1999 membuktikan bahwa perdagangan penyu di Bali masih berlangsung. ProFauna Indonesia mencatat ada sekitar 9000 ekor penyu yang diperdagangkan hanya dalam kurun waktu empat bulan, yaitu Mei hingga Agustus 2001. Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen burung paruh bengkok yang diperdagangkan adalah termasuk jenis yang dilindungi, antara lain Cacatua sulphurea, Cacatua gofini, Eclectus roratus, Lorius lory, dan Cacatua galerita. Jenis burung yang paling banyak diperdagangkan adalah Lorius lory.
Berkaitan dengan perdagangan satwa liar pemerintah terus melakukan upaya-upaya penertiban dan pemantauan terhadap permasalahan tersebut. Pada tanggal 20 Januari 2003, Balai Karantina Departemen Pertanian (Deptan) berhasil menggagalkan upaya penyelundupan satwa ke Jepang yang terdiri dari : 5 ekor malu-malu,2 ekor musang, 24 ekor tupai terang dan tupai kelapa, 40 ekor kelelawar, 2 ekor burung cucakrawa Sedangkan pada tanggal 22 Januari 2003, Balai Karantina Deptan menggagalkan upaya penyelundupan satwa liar ke Kuwait yang meliputi : 91 ekor malu-malu, 3 ekor owa jawa, 4 ekor siamang, 14 ekor kera ekor panjang, 4 ekor beruk, 40 ekor burung punai, 83 ekor bajing kelapa, 7 ekor bajing bergaris. Penyusutan sumber daya genetik yang terjadi saat ini adalah akibat tidak adanya pengaturan/kebijakan dan monitoring yang baik. Kurang tepatnya kebijakan di sektor pertanian misalnya, merupakan salah satu penyebab penyusutan keragaman genetik. Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi monokultur dengan penggalakan penanaman padi PB (Pelita Baru) sejak 1978 untuk meningkatkan produksi beras, telah berdampak pada hilangnya 1500 kultivar padi lokal di Indonesia. Hal ini terjadi karena kebijakan intensifikasi pertanian menggunakan satu macam kultivar unggul secara nasional, menggiring petani menggunakan hanya satu kultivar tersebut dan mangabaikan kultivar lokal sehingga kultivar yang telah teradaptasi lama itu tersisihkan dan akhirnya menghilang.
Kasus lain, pemakaian bibit bermutu dan seragam secara besar-besaran dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya epidemi dan pada ujungnya juga berakhir dengan pemusnahan sumber daya genetik. Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh globalisasi. Sebagai dampak dari globalisasi telah terjadi erosi budaya seperti menurunnya kesukaan akan buah lokal karena membanjirnya buahbuahan impor di pasaran. Selain itu, petani juga diperkenalkan dengan bibit hasil introduksi pasar yang lebih disukai, sehingga penaman bibit tradisional menjadi jarang dan berangsur-angsur mulai tergusur oleh bibit introduksi. Sebenarnya pengalihan pemakaian bibit tradisional oleh bibit unggul adalah wajar dari segi tuntutan pasar, tapi perlu diingat bahwa keanekaragaman sifat yang dimiliki oleh bibit tradisional mungkin suatu saat akan diperlukan di masa datang. Kemudian penyebab lain adalah kurangnya sosialisasi tentang pentingnya sumber daya genetik.
Padahal seperti kita ketahui bahwa sumber daya ini memiliki nilai strategis, sehingga upaya pelestarian dan pemanfaatannya perlu diperhatikan sebagai modal pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Saat ini orang belum memikirkan pengelolaan sumberdaya genetik, konservasi yang sering dilakukan adalah hanya dalam lingkup jenis dan ekosistem saja. Mengingat kondisi hutan di berbagai tempat terus mengalami kemunduran, maka hendaknya pemerintah mempertahankan kondisi dan meningkatkan kualitas hutan yang ada, melalui pengambilan kebijakan yang tegas untuk tidak mengizinkan lagi adanya konversi, selain dengan alasan-alasan yang sangat strategis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan) maka pembangunan di kawasan hutan meskipun sesuai dengan peruntukannya wajib menjamin pembangunan tersebut tidak menyebabkan fragmentasi kawasan. Untuk itu rencana tersebut tetap harus mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama di bidang kehutanan, lingkungan hidup, dan tata ruang, serta memperhatikan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat.
Pemerintah Indonesia sejak lama telah melakukan beberapa upaya pengendalian dan penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati. Beberapa kebijakan telah dicanangkan terutama terkait dengan upaya pelestarian/konservasi. Selain itu diupayakan pula suatu kebijakan pemanfaatan yang mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan serta pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan keanekaragaman hayati. Sejak tahun 1990 telah diterbitkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi keanekaragaman ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Indonesia memiliki 387 unit kawasan lindung/konservasi, meliputi 357 unit daratan (sekitar 17,8 juta hektar) dan 30 unit kawasan laut (sekitar 44,6 juta hektar). Namun
pengelolaan kawasan lindung, khususnya dalam menjamin partisipasi masyarakat, penegakan hukum, dan lokasi anggaran kurang memadai, sehingga beberapa kawasan lindung terancam oleh kegiatan perburuan, penangkapan ikan, penebangan dan pemungutan sumberdaya hutan ilegal, serta konflik dengan masyarakat lokal.
Pada awal tahun 1990 KLH telah menyusun suatu Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang diikuti dengan kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Action Plan of Indonesia - BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Enviroronment Facilities (GEF) sedang merevisi BAPI melalui penyusunan Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan – IBSAP). Kegiatan yang melibatkan berbagai instansi terkait dan LSM ini, diharapkan akan selesai pada tahun 2003 ini. Sementara itu, pemerintah telah juga mengembangkan UU No. 5 1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity - CBD). KLH bertindak sebagai National Focal Point yang bertugas mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang terkait, seperti CITES, RAMSAR, World Heritage Convention (WHC)) serta telah menandatangai Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Pemerintah juga berpartisipasi pada kegiatan MAB (Man and Biosphere) yang dikoordinasikan oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia berpartisipasi aktif pada kegiatan program ARCBC (ASEAN Regional Center on Biodiversity Conservation) yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan berkedudukan di Manila. Beberapa upaya/ aktifitas lain terkait dengan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan ádalah:
Penetapan kebijakan konservasi in-situ and ex-situ. Konservasi in-situ dilaksanakan dengan menetapkan kawasan lindung yang terdiri dari kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas ±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas± 3,7 juta ha). Konservasi ex-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan 2 taman safari, 3 taman burung, 4 rehabilitasi lokasi orang utan dan 6 pusat rehabilitasi gajah. Pelestarian keragaman sumber daya genetik, terutama untuk tanaman pertanian dan ternak dilakukan melalui koleksi plasma nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai penelitian di bawah Departemen Pertanian. Konservasi ex-situ menghadapi berbagai masalah, yaitu kekurangan dana, fasilitas dan tenaga terlatih. Sebagai contoh, berbagai balai atau pusat penelitian tidak mempunyai fasilitas penyimpanan jangka panjang, sehingga koleksi harus ditanam atau ditangkar ulang.
Sebagai negara pihak pada Konvensi Keanekaragaman Hayati, Indonesia mengimplementasikan keputusan-keputusan hasil pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) yang berlangsung setiap 2 tahun. Pertemuan terakhir Konferensi Para Pihak (COP 6) diadakan di Denhaag, Belanda pada bulan April 2002. Berbagai tindak lanjut dari keputusan COP yang dilaksanakan oleh KLH selama 2001-2002 antara lain adalah (i) Penyusunan Laporan Nasional Keanekaragaman Hayati ke dua (second National Report) pada tahun 2001, (ii) pengembangan inisiatif taxonomi dengan pembentukan kelompok kerja Indonesian Taxonomy Initiative (INTI) yang difasilitasi oleh KLH; dan (iii) terkait dengan permasalahan akses dan pembagian keuntungan, KLH telah menggunakan Pedoman Bonn sebagai bahan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-undangan Pengelolaan Sumberdaya Genetik (PSDG) dan sekaligus telah menterjemahkan Pedoman Bonn ke dalam bahasa Indonesia sebagai upaya mensosialisasikan isyu akses dan pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumber daya genetik kepada masyarakat. Bekerjasama dengan instansi terkait lainnya, KLH telah melakukan kegiatan „Harmonisasi pelaporan nasional dari konvensikonvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati“ dimana Indonesia telah ditunjuk oleh UNEP sebagai negara pilot proyek bersama 3 negara lainnya yaitu Seychelles, Panama dan Ghana.
Pada tahun 2002, telah dimulai suatu pembahasan tentang kemungkinan Indonesia untuk meratifikasi Protokol Cartagena dan International Treaty on Genetic Resources for Food and Agriculture (ITGRFA) dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari teknologi rekayasa genetika pada komponen keanekaragaman hayati. Pada saat yang sama telah disusun pula suatu konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika. Sementara untuk mengatisipasi kemerosotan sumberdaya genetik dan guna pemanfaatannya yang optimal untuk kesejahteraan masyarakat, maka pada tahun 2002 KLH bekerjasama dengan instansi terkait (terutama LIPI, Departemen Pertanian, dan Kementerian Riset dan Teknologi) dan beberapa LSM telah berhasil menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Genetika (RUU Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 20 02 VII – 7 PSDG). Saat ini tim PAD (Pembahasan Antar Departemen) sudah terbentuk untuk menindak lanjuti hasil Naskah Akademik tersebut menjadi RUU PSDG sesuai dengan bahasa hukum.
Indonesia telah berpartisipasi di Kelompok „Like Minded Megadiversity Countries (LMMDC)“ dimulai sejak diadopsinya Deklarasi Cancun, di Mexico, February 2002. KLH telah berpartisipasi pada beberapa kali pertemuan selama tahun 2002, yang bertujuan antara lain untuk saling bertukar pengalaman dan mencari posisi bersama dalam pengembangan rejim internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya genetik. Pertemuan terakhir yang diadakan di Cusco, Peru, November 2002, dihadiri oleh wakil-wakil dari negara-negara megadiversiti di dunia, membahas akses terhadap sumberdaya genetik, pengetahuan tradisional dan hak kekayaan intelektual. Pada pertemuan di Cusco, disepakati suatu deklarasi (Deklarasi Cusco) yang antara lain, menyepakati pentingnya sumberdaya genetik bagi negara megadiversiti; komitmen untuk mendukung upaya negosiasi dalam kerangka CBD, rejim internasional untuk upaya menjamin pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumberdaya genetik; selain mendukung upaya konservasi in situ dari keanekaragaman hayati.
Fase baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia dalam bidang pengelolaan lingkungan berkelanjutan (Sustainable Environmental Management) dimulai kembali akhir tahun 2001 dan akan berlangsung selama 5 tahun. Kegiatan kali ini difokuskan untuk peningkatan kapasitas pemerintah daerah di Propinsi Riau dalam pengelolaan terpadu keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Pengembangan pengelolaan terpadu wilayah pesisir di wilayah BARELANG dan Bintan.
Semua teknologi yang dimanfaatkan oleh manusia memiliki risiko yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan jika tidak digunakan dengan tidak hati-hati dan tidak sesuai dengan prosedur. Demikian juga halnya dengan bioteknologi modern (rekayasa genetika), selain memiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati, perbaikan kesehatan manusia dan perbaikan lingkungan, juga memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi keanekaragaman hayati dan juga kesehatan manusia. Mengingat pengembangan bioteknologi modern dengan hasilnya seperti produk Organisme Hasil modifikasi (OHM)/ transgenik dimana kemungkinan memiliki potensi merugikan keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia, maka Protokol Cartagena dari Konvensi Keanekaragaman Hayati tentang Keamanan Hayati menekankan penerapan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) sesuai dengan Prinsip 15 dari Deklarasi Rio dalam rangka melindungi lingkungan hidup.
Dengan pendekatan ini maka pemindahan, penanganan dan pemanfaatan OHM/ transgenik harus dilakukan setelah melalui penelitian yang cukup untuk menilai risikonya terhadap keanakeragaman hayati dan kesehatan manusia. Protokol Cartagena dapat dijadikan dasar atau landasan hukum bagi Indonesia untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur syarat-syarat impor atau ekspor OHM/ transgenik serta pengembangan dan pemanfaatannya di dalam negeri. Oleh karena itu dengan meratifikasi Protocol Cartagena, Indonesia akan memperoleh manfaat melalui:
Lebih efektifnya kewenangan menyusun peraturan di bidang keamanan hayati
Adanya pengaturan dalam tingkat internasional tentang pergerakan lintas batas dari produk OHM/transgenik yang dimaksudkan untuk dilepas ke lingkungan dan produk OHM yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau pakan dan atau olahan
Adanya dasar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait dengan pelepasan OHM
Kesempatan untuk pertukaran informasi di bidang teknis maupun legal dengan negara lainnya
Adanya peluang bantuan pendanaan dan bantuan teknis bagi pengembangan sumber daya manusia dan institusi dalam mengimplementasikan protokol
Terkait dengan keamanan hayati secara khusus, pada tahun 2002 telah berlangsung kegiatan pengembangan Kerangka Nasional Keamanan Hayati (National Biosafety Framework) yang didanai oleh GEF melalui UNEP (lihat kerjasama UNEP). Dalam kerangka kerja ini juga telah dirintis Balai Kliring Keamanan Hayati yang dikoordinasikan oleh LIPI (Puslit Bioteknologi). Sementara upaya untuk meratifikasi Protokol Cartagena sebagai salah satu landasan hukum untuk mengantisipasi dampak negatif dari produk rekayasan genetika (transgenik) sudah dimulai sejak tahun 2001 dengan menyusun Naskah Akademik dan melakukan sosialisasi keberbagai stakeholders. Masih terkait dengan upaya mencegahan dampak dari produk transgenik ini maka KLH tengah menyusun suatu Pedoman Pengkajian Keamanan Produk Rekayasa Genetika“ dan bekerjasama dengan instansi terkait untuk melakukan upaya pemantauan Pelepasan Kapas Transgenik di Sulawesi Selatan
-
Upaya pengendalian spesies invasif telah mulai dikembangkan dengan menyusun pedoman untuk pengendalikan species asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif dalam upaya untuk mengangkat permasalahan ini sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan kepunahan spesies lokal akibat dari masuknya spesies asing yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS. Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P Ginting dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Prandya Paramita.
Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor.
Forest Watch Indonesia dan Washington DC. 1997. Global Forest Watch Kementerian Lingkungan Hidup. Agenda 21 Indonesia. A National Strategy for Sustainable Development. Jakarta.
KLH dan UNDP Kementerian Lingkungan Hidup. 2002. Dari Krisis Menuju Keberlanjutan: Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia (Tinjauan Pelaksanaan Agenda 21). KLH. Jakarta.
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. 2002. Diambil dari http:// www.ancamandanhabitatsatwaliar.com (9 Maret 2009) (16.00 WIB)
Ministry of National Development Planning (BAPPENAS). 1993. Biodiversity Action Plan. Jakarta
Primack, R. B, 1998, Biologi Kenservasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar