PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan sering diartikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutup pohon yang kurang lebih rapat dan luas. Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan demi pembangunan ekonomi bagi masyarakat, peningkatan devisa dan pendapatan negara serta pemerataan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pengembangan sumber energi nonminyak (Arief, 2001).
Permukaan bumi merupakan suatu bidang lengkung yang tidak beraturan, sehingga hubungan geometris antara titik satu dengan titik yang lainnya di permukaan tersebut sulit untuk ditentukan. Hubungan geometris tersebut yang secara praktis dapat dinyatakan dalam bentuk peta topografi, merupakan informasi penting bagi berbagai keperluan baik untuk pembangunan fisik maupun penelitian ilmiah (Sagala, 1994).
Klasifikasi lapangan di bidang kehutanan dimulai antara tahun 1950 dikota Shandinavia, kemiringan lapangan dibidang lapangan adalah penggambaran dan pengelompokan areal hutan berdasarkan sifat – sifat dapat tidaknya sistem kerja atau mesin – mesin tetap di areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan – tindakan dalam tindakan pengelolaan hutan (Budiaman, 1996).
Klasifikasi di bidang kehutanan dapat dibedakan atas klasifikasi primer dan klasifikasi sekunder. Klasifikasi primer menggambarkan dan mengelompokkan berdasarkan sifat – sifat lapangan yang tidak berubah, sedangkan klasifikasi sekunder mengelompokkan areal hutan berdasarkan kemungkinan terbaik aplikasi sistem kerja mesin di areal tersebut, sedangkan kemiringan lapangan atau lahan merupakan salah satu faktor dominan untuk klasifikasi lapangan kehutanan. Penggambaran dan pengelompokkan areal hutan yang didasarkan pada sifat – sifat dapat atau tidaknya diterapkan sistem kerja dan mesin – mesin yang bisa pada areal tertentu berkaitan erat dengan faktor kemiringan lapangan (Muhdi, 2001).
Garis kontur atau garis ketinggian adalah gambaran bentuk permukaan bumi pada topografi, semakin rapat jarak antara garis kontur berarti semakin terjal, kriteria tata guna lahan yang ada sekarang menentukan klasifikasi yang paling penting karena ia memisahkan hutan dan tata guna lahan yang lain dan tipe vegetasi. Dalam tata guna lahan dan suatu areal hutan tertentu yang di infentarisasi hasil iventornya tidak hanya dinyatakan untuk seluruh areal hutan, tetapi juga untuk bagian dari kawasan hutan itu sendiri (Pamulardi, 1995).
Pada kemiringan yang ditumbuhi rumput, daerah rusak dengan sedikit pohon daintara yang rusak, kerusakan menjadi tinggi, tumbuhan dilaporkan antara 15 dan 20 % kerusakan kayu, sejak minimalisasi kerusakan menjadi tujuan utama survey lebih banyak dan lebih susah dalam pencapaian tujuan. Salah satu faktor dominan untuk klasifikasi lapangan kehutanan adalah kemungkinan lapangan yang dibedakan atas kelas – kelas kemiringan lapangan, untuk memindahkan lapangan keseluruhan menjadi gambaran bagian yang dapat diklasifikasikan (Budiaman, 1996).
Berdasarkan jenis data yang disajikan, peta dapat digolongkan kedalam 2 kelompok, yaitu peta topografi atau peta tematik. Peta tematik adalah peta yang hanya menyajikan data – data atau infomasi dari suatu konsep yang tertentu saja, baik itu berupa data kualitatif maupun data kuantitatif. Sedangkan berdasarkan skalanya peta dapat dikelompokkan ke dalam 3 garis peta, yaitu peta skala kecil, peta skala sedang, dan peta skala besar. Sedangkan peta topografi adalah peta yang menggambarkan semua unsur topografi yang nampak dipermukaan bumi baik unsur alam maupun unsur manusia (Sagala, 1994).
Tujuan
Adapun tujuan dari Praktikum Pemanenan kayu dengan judul Klasifikasi Kemiringan Lapangan adalah:
Agar mahasiswa dapat mengetahui cara penentuan kemiringan lapangan pada peta
Menentukan persentase kemiringan lapangan
Menentukan masing-masing luas kelas lereng
Menentukan fungsi klasifikasi hutan
TINJAUAN PUSTAKA
Dlam peta topografi dan peta – peta umum yang seba guna, penyajian relief dari permukaan bumi sangat penting, karena dapat memberikan gambaran yang lebih cepat tentang bentuk permukaan bumi tersebut, untuk peta-peta teknis (seperti peta untuk perencanaan pekerjaan teknik sipil) keakuratan dalam penyajian data relief tersebut sangat penting, karena dari peta tersebut dapat dihitung volume seluruh pekerjaan fisik, relief permukaan bumi dapat digambarkan pada peta dengan berbagai bentuk/ simbol seperti kontur, warna, ketinggian dan bayangan gunung (Sagala, 1994).
Kemiringan lapangan dibidang kehutanan adalah penggambaran dan pengelompokan areal hutan berdasarkan sifat – sifat dapat tidaknya sistem kerja atau mesin – mesin tetap di areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan – tindakan dalam kegiatan pengelolaan hutan (Budiaman, 1996).
Klasifikasi lapangan dibidang kehutanan dapat dibedakan atas klasifikasi primer dan sekunder, klasifikasi primer menggambarkan dan mengelompokkan hutan berdasarkan sifat – sifat lapangan yang tidak berubah, sedangkan klasifikasi sekunder mengelompokkan areal hutan berdasarkan kemungkinan terbaik aplikasi sistem kerja atau mesin di areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan – tindakan pengelolaan hutan (Arief, 2001).
Pemetaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti geodesi, pemotretan udara, fotogrametri serta teknik pencetakan peta. Ilmu geodesi lebih banyak berperan dalam pembuatan kerangka dasar pemetaan, pengambilan data, perhitungan peta, serta penyusunan manuskrip. Pemotretan udara berperan dalam mengubah foto udara menjadi manuskrip, kartografi berperan dalam mengolah manuskrip menjadi suatu peta (Sagala, 1994).
Dalam pembagian areal yang di inventore beberapa kriteria secara serentak dapat dipakai, kriteria saling berhubungan antara vegetasi/ lingkungan yang memperhatikan faktor – faktor lingkungan seperti iklim, ketinggian tempat dan tanah. Klasifikasi yang bersangkutan dengan tidak secara umum menunjukkan tata guna lahan yang ada. Sekarang menentukan klasifikasi yang paling penting karena ia memisahkan hutan dan tata guna yang lain – lain dan tipe vegetasi. Dalam klasifikasi ini areal hutan di pisahkan lagi kedalam kelas – kelas yang bersifat sangat lebar dan dapat diterima secara visual (Pamulardi, 1995).
Terlepas dari penambahan waktu perjalanan, perubahan pada sebuah kemiringan akibat lama dan sering adanya bahaya dari perubahan di tanah datar, salah satu kesulitan dalam pemanenan kayu tersebut adalah dengan cara pengambilan kayu yang harus menuruni bukit dan berakhir di gundukan. Sejak hal itu menjadi sulit untuk menebang dibawah kondisi tersebut hanya sedikit pohon yang dapat ditebang saat ini. Tindakan dalam kegiatan pengelolaan hutan, efektif kemiringan 65 % adalah sulit. Jika tidak mungkin memindahkan kayu pada sisi bukit. Pohon yang tinggi ditebang, jarak bergantung pada kecuraman dan adanya rintangan seperti puncak dan karang. Jika kayu lurus menuruni bukit, kerusakan sedikit dapat diminimalkan (Budiaman, 1996).
Klasifikasi bermaksud mengorganisasi informasi agar didapatkan data yang mudah tersedia untuk menjawab persoalan atau penyelesaian program tertentu. Maksud dari klasifikasi dilakukan dengan pemilihan klasifikasi yang disertai kegunaan pengeloloan yang dapat diterapkan pada lokasi tertentu, klasifikasi menggunakan beberapa sistem yang beriteraksi sebagian seperti tipe lahan, ekoregion atau diogeniaseae (Das, 1995).
Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik –titik yang mempunyai ketinggian yang sama. Kontur ini dapat memberikan informasi relief baik secara relatife maupun absolut. Informasi secara relatife ini diperlihatkan dengan cara menggambarkan garis – garis kontur secara rapat untuk daerah terjal sedangkan untuk daerah landai dapat diperlihatkan dengan menggambarkan garis kontur secara renggang. Informasi relief secara absolut diperlihatkan dengan cara menuliskan nilai kontur yang merupakan ketinggian garis tersebut diatas suatu bidang permukaan laut rata – rata (Sagala, 1994).
Skor berdasarkan kriteriia untuk Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) adalah berbeda untuk setiap kawasan. Untuk hutan produksi <> 175. TPTI adalah silvikultur yang meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan permudaan alam. Sistem silvikultur yang paling sulit pelaksanaannya. Sistem TPTI berdasarkan risalah hutan dan memperhatikan azas pelestarian hutan yang mencakup kelangsungan produksi, penyelamatan tanah dan air, perlindungan alam dan mempertimbangkan teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi lapangan, komposisi dan struktur hutan (Budiaman, 1996).
Klasifikasi bermaksud mengorganisasi informasi untuk mendapatkan data yang mudah tersedia untuk menjawab persoalan atau penyelesaian program tertentu. Setiap klasifikasi memiliki maksud tertentu. Maksud ini sering dilakukan dengan pemilihan klasifikasi yang disertai kegunaan pengeloloan yang dapat diterapkan pada lokasi tertentu. Maksud ini sering dilakukan dengan pemilihan klasifikasi yang disertai penggunaan pengelolaan yang dapat diterapkan pada lokasi tertentu. Klasifikasi lain menggunakan beberapa sistem yang beritegrasi atau terintegrasi sebagian seperti tipe lahan, ekoregion atau biogeonaseae. Namun, klasifikasi holdridge memberikan pengenalan zona kehidupan dengan menggunakan faktor – faktor komponen dan tidak dianggap dapat digunakan untuk melukiskan batas tipe penutupan lahan ataupun bahkan informasi dalam suatu areal (Elias, 1999).
Dalam pembagian areal yang diinfentor beberapa kriteria secara serentak dapat dipakai kriteria saling berhubungan antara vegetasi/ lingkungan yang memperhatikan faktor – faktor lingkungan seperti iklim, ketinggian tempat dan tanah. Klasifikasi yang bersangkutan dengan tidak secara umum menunjukkan tata guna lahan yang ada, tetapi bermanfat untuk pengelolaan lahan hutan. Kriteria tata guna lahan yang ada sekarang menentukan klasifikasi yang paling penting karena yang memisahkan hutan dari tata guna yang lain dan tipe vegetasi. Dalam klasifikasi ini areal hutan dipisahkan lagi kedalam kelas – kelas yang bersifat sangat lebar dan dapat diterima secara visual (Pamulardi, 1995).
Menurut Muhdi (2001) salah satu faktor dominan untuk klasifikasi lapangan kehutanan adalah kemiringan lapangan, yang dibedakan atas kelas-kelas kemiringan lapangan.
Tabel 1. Kelas-kelas kemiringan lapangan
Kelas | Kemiringan | Keterangan |
1 2 3 4 5 | 0 - <> 10 - <> 2 0 - <> 33 - <> ≥ 50 | Datar Landai Sedang Curam Sangat Curam |
Tabel 2. Kelas-kelas kemiringan lapangan yang berlaku di Indonesia
Kelas | Kemiringan | Keterangan |
1 2 3 4 5 | 0 - 8 8 - 15 15 - 25 25 - 40 ≥ 40 | Datar Landai Sedang Curam Sangat Curam |
Titik tinggi merupakan titik pada permukaan bumi yang mempunyai harga ketinggian diatas suatu datum tertentu. Datum yang umum digunakan untuk ketinggian ini adalah permukaan laut rata – rata. Titik tinggi merupakan salah satu cara penyajian ketingian yang paling akurat dibandingkan cara lainnya (kontur, warna ketinggian, bayangan gunung), karena titik tersebut dapat ditempatkan secara tepat dan akurat pada posisinya yang benar. Oleh karena itu, titik ini umumnya digunakan untuk menandai puncak gunung, titik tertinggi di suatu tempat tertentu, titik terendah si duatu cekungan dan tempat penting – penting lainnya (Sagala, 1994).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum Pemanenan Hutan yang berjudul Klasifikasi Kemiringan Lapangan ini dilaksanakan pada hari Kamis, 13 Agustus 2009 pukul 14.00 WIB yang diadakan di ruang 202 Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan yaitu :
Peta kontur dengan skala 1 : 10.000 sebagai peta yang akan dihitung kemiringannya
Dot Grid untuk menghitung petak yang kontur
Buku data untuk menuliskan data
Adapun alat yang digunakan adalah :
Busur berfungsi sebagai untuk menentukan sudut
Penggaris berfungsi sebagai alat bantu penarikan garis
Pulpen permanen untuk menulis koordinat dan nomor kotak 3x3
Pensil warna berfungsi untuk membedakan warna kelas kemiringan
Prosedur
Ditentukan titik pasti yaitu tempat yang tidak berubah.
Dibuat sumbu koordinat x dan y.
Dari sumbu x dan y dibuat petak dengan ukuran 3 cm x 3 cm.
Dibuat garis diagonal dan dicari kemiringan lapangan dengan rumus :
Y = ΔH/ M x 1/ X x 100%
Ditentukan kelas kemiringan dan diberi warna, dimana kelas-kelas kemiringan lapangan dengan ketentuan:
Tabel 3. Klasifikasi Kemiringan Lapangan
Kelas | Kemiringan | Keterangan | Warna |
1 2 3 4 5 | 0 - <8> 8 - <15> 15 - <25> 25 - <40> ≥ 40 | Datar Landai Sedang Curam Sangat Curam | Hijau Kuning Biru Merah muda merah |
Hasil pengukuran kelerengan lapangan pada masing-masing kotak dot grid ditabulasikan dalam tabel:
Tabel 4. Pengukuran Kemiringan Lapangan
No. | Koordinat | a (cm) | b (cm) | x (cm) | Δ H | I | Y (%) | Kelas Lereng | Warna Lereng | |
x | y | |||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dihitung luas setiap kelas dengan dot grid, lalu ditabulasikan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 5. Luas Kemiringan Lapangan
No. | Kelas Lereng | Kemiringan (%) | Keterangan | Luas (Ha) | Luas (%) |
1 | 1 | 0 - <> | Datar |
|
|
2 | 2 | 8 - <> | Landai |
|
|
3 | 3 | 15 - <> | Sedang |
|
|
4 | 4 | 25 - <> | Curam |
|
|
5 | 5 | ≥ 40 | Sangat curam |
|
|
Total |
|
|
Ditentukan fungsi kawasan melalui perhitungan skor tertentu dalam bentuk tabulasi tabel di bawah ini:
Tabel 6. Fungsi Kawasan Hutan
No. | Fungsi Kawasan Hutan | Skor berdasarkan kriteria TPTI | Luas |
1 | Hutan Produksi (HP) | <125> |
|
2 | Hutan Produksi Terbatas (HPT) | 125 – 175 |
|
3 | Hutan Lindung (HL) | ≥ 175 |
|
Total |
|
Dimasukkan data hasil perhitungan di buku data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Adapun hasil dari perhitungan Klasifikasi Kemiringan Lapangan dapat dilihat dalam bentuk tabulasi data di bawah ini:
Tabel 7. Luas Setiap Kelas
No. | Kelas Kelerengan | Kemiringan | Kelerengan | Luas (Ha) | Luas (%) |
1 2 3 4 5 | 1 2 3 4 5 | 0 - <> 8 - <15> 15 - <25 25 - <40> ≥ 40 | Datar Landai Sedang Curam Sangat Curam | 100,5 835,2 1090,2 58 0 | 4,82 40,08 52,32 2,78 0 |
Total | 2083,9 | 100 |
Tabel 8. Fungsi Kawasan
No. | Fungsi Kawasan Hutan | Skor berdasarkan kriteria TPTI | Luas |
1 2 3 | Hutan Produksi (HP) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Lindung (HL) | <125> 125 – 175 ≥ 175 | 100,5 1025,4 58 |
Total | 2083,9 |
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa peta diperoleh data bahwa daerah terluas cakupan wilayahnya adalah daerah dengan kriteria kemiringan sedang yaitu dengan luas 1090,2 Ha atau sama dengan 52,32 % dari luas total seluruh wilayah pada peta yaitu seluas 2083,9 Ha. Hal ini berarti untuk kondisi lapangan yang sebenarnya memiliki topografi yang sedang. Hal ini tampak dari gambaran peta secara umum, dimana terlihat lebih banyak daerah yang memiliki garis – garis kontur yang tidak begitu rapat. Dengan demikian daerah tersebut cocok untuk dimanfaatkan sebagai kawasan hutan produksi atau hutan produksi terbatas, karena tingkat kecuraman berkisar antara 15 - <>
Berdasarkan tata guna lahan, maka daerah – daerah dengan kelas lahan sedang, landai dan datar dapat dimanfaatkan sebagai kawasan hutan tanaman dan hutan produksi, tetapi lebih direkomendasikan untuk mencegah kerusakan tanah yang parah pemanfaatan kawasan hutan sebagai hutan tanaman dan hutan produksi lebih cocok di tanah dengan kelas lahan landai dan datar, dimana di daerah dengan kelas lahan landai dan datar tingkat kepekaannya terhadap kerusakan lebih rendah dibandingkan dengan jenis lahan yang lain.
Luas lahan pada kawasan hutan produksi sekitar 100,5 Ha, untuk hutan produksi terbatas sekitar 1025,4 Ha, dan hutan lindung sekitar 58 dari luas seluruhnya. Adapun kriteria penentuan untuk fungsi kawasan adalah > 125 ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi, 125 – 175 ditetapkan sebagai hutan produksi terbatas, dan ≥ 175 ditetapkan sebagai hutan lindung.
Pada fungsi kawasan tersebut terbagi tiga fungsi yaitu sebagai hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Jumlah luas hutan lindung semakin hari semakin berkurang. Syarat yang paling utama dalam penentuan hutan lindung adalah mempunyai kelerengan 450. Kebanyakan hutan di Indonesia terdiri atas hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
Adanya perbedaan – perbedaan tata letak yang terdapat di dalam peta seperti adanya perbedaan warna kelerengan seperti hijau, kuning, biru, merah muda, dan merah tua. Juga adanya perbedaan dalam pengambilan garis dan titik pasti antara setiap kelompok sehingga hasil yang diperoleh pun berbeda – beda.
Dalam pemanenan hasil hutan diperlukan suatu strategi – strategi yang mantap agar hasil yang diperoleh secara optimal dan berkualitas, baik pemanenan pada daerah yang landai, datar sedang, curam, dan sangat curam. Oleh sebab itu dalam pemanenan hasil hutan tersebut perlu dilakukan tahapan – tahapan dalam pemanenan agar resiko yang akan terjadi dapat dihindari, suatu pemanenan harus dilakukan dengan melakukan perencanaan pemanenan yang merupakan tahap awal kemudian pembukaan wilayah hutan, pemanenan, penyaradan, pengumpulan kayu, lalu kayu tersebut diangkut ke penimbunan sementara lalu dilanjutkan ke pengangkutan akhir hingga pada penimbunan akhir (Budiaman, 1996).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Luas kemiringan yang paling banyak ditemukan adalah kelas sedang yang mempunyai luas 1090,2 Ha dan luas dalam persen yaitu 52,32 %
Luas kelas datar yang diperoleh adalah 100,5 Ha atau 4,82 %, kelas landai 835,2 Ha atau 40,08 %, kelas sedang 1090,2 Ha atau 52,32 %, dan kelas curam 58 Ha atau 2,78 %
Luas total dari keseluruhan wilayah adalah 2083,9 Ha.
Fungsi kawasan yang paling tertinggi adalah hutan produksi terbatas dengan luas 1025,4 Ha.
Tujuan dari perhitungan kemiringan lapangan adalah mengetahui tata guna lahan.
Saran
Diharapkan kepada seluruh praktikan agar dalam perhitungan kemiringan lapangan dan luas wilayah dilakukan dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan kondisi lapangan atau tingkat keakuratan data lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta
Budiaman, A. 1996. Dasar – Dasar Teknik Pemanenan Kayu Untuk Program Pendidikan Pelaksanaan Pemanenan Kayu. IPB Press. Bogor
Das, B.M. 1995. Mekanika Tanah (Prinsip – Primsip Rekayasa Geoteknis). Penerbit Erlangga. Jakarta
Elias. 1999. Pembukaan Wilayah Hutan. Diktat Kuliah IPB. Bogor
Muhdi. 2001. Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Teknis Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional di Hutan Alam (Studi kasus di areal HPH PT.Suaka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). Thesis pasca sarjana. IPB. Bogor
Pamulardi. 1995. Hutan, Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Grafindo Persada. Jakarta
Sagala, P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar